Senin, 13 Juli 2020

Mimpi yang dicoret


(Mimpi yang dicoret)
(Eman Sulaeman)
Bandung, dini hari, hujan turun setelah aku melaksanakan salat subuh berjemaah di masjid Pondok Pesantren Al Falah Dago, kembali aku melakukan aktivitas seperti biasanya, mandi, sarapan, dan bersiap bergegas menuju kampus tercinta Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Alhamdulillah hujan reda pada waktu yang tepat. Betul sekali, aku adalah seorang mahasiswa semester empat di UPI Bandung, mengambil kejuruan Ilmu Pendidikan Agama Islam (IPAI) yang harapannya adalah aku bisa menjadi seorang pendidik dan pengajar atau lebih kita kenal dengan istilah guru. Menjadi seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sebuah sekolah bukanlah keinginanku, apalagi keinginan orang tuaku, mengingat bahwa upah atau gaji menjadi seorang guru di Indonesia masih amat kecil dan dirasa tidak mencukupi kebutuhan hidup, begitulah pola pikir kedua orang tuaku. Hal lainnya adalah karena aku seorang siswa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang memiliki keahlian di Bidang Elektronika Industri. Memang banyak sekali orang lain yang menyebutkan bahwa diriku telah tersesat memilih kejuruan di universitas. Namun, aku tambahkan saja bahwa aku telah tersesat di jalan yang benar. Insyaallah.
Pukul 07.00 WIB tepat aku masuk di ruang 40 gedung Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS), AC menyala 16°C saat itu. Diawali dengan tilawah Al-Qur’an bersama, aku dan teman-teman sekelas memulai pembelajaran pertama dengan mata kuliah tafsir tentang ayat-ayat pendidikan. Sistem pembelajaran kami adalah pembagian kelompok, dan setiap kelompok harus tampil mempresentasikan materi yang telah ditentukan sebelumnya oleh dosen, KH. Dr. Aam Abdussalam, M.Pd, dan Dr. Cucu Surahmanm M.A.. Pada hari itu adalah bagian kelompokku yang tampil mempresentasikan materi. Satu hal yang menarik ketika memasuki sesi tanya jawab yaitu ada sebuah pertanyaan tentang persepsi ustaz dan kiai, kemudian aku jawab bahwa seseorang itu tidak pernah menyebutkan dirinya dengan gelar ustaz atau kiai, masyarakatlah yang memberinya gelar tersebut. Kita bisa lihat dan pelajari dari Negeri Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Madinah atau Mesir, walaupun saya belum pernah berkunjung ke sana, mohon doa dari teman-teman semua, insyaallah semester yang akan datang saya bisa mengikuti program daurah  ke Mesir. ‘Serentak teman sekelas berkata amin’ Bahwa untuk mendapatkan gelar ustaz atau kiai di sana harus belajar bertahun-tahun terlebih dahulu, harus hafal Al-Qur’an 30 Juz dan ribuan hadis terlebih dahulu. Beda halnya dengan Indonesia, ada remaja yang baru masuk dan belajar di pondok pesantren selama setahun saja, ketika pulang ke kampung halamannya sudah banyak orang-orang yang memanggilnya ustaz, begitu penjelasanku.
Celetukan di kelas mengenai program daurah Mesir sempat terpikirkan kembali, memang saat itu semester 4 adalah waktu yang tepat bagi panitia program daurah Mesir mencari mahasiswa yang ingin mengikuti programnya. Di Program Studi (Prodi) IPAI ini sudah terjalin kerja sama dengan salah satu lembaga pendidikan di Giza Mesir. Dan pada awal tahun 2019 merupakan tahap pencarian peserta program ini.
Teringat satu kejadian ketika aku semester 3 di UPI, mata kuliah Basic Life Skill (BLS) bersama Bapak Toto Suryana dan Bapak Saeful Anwar menjadi pengingat juga bagi semua mahasiswa perihal keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap manusia untuk bertahan hidup di era yang terus berkembang, mengukir harapan dan mimpi setinggi-tingginya serta belajar untuk berpikir di luar nalar biasanya. Salah satu tugas yang menarik dari mata kuliah ini adalah membuat Dream Book, iya betul, buku impian. Di dalam buku impian tersebut mahasiswa harus mencantumkan biodata dirinya, tentang keluarganya, orang-orang yang dekat dengan dirinya serta mahasiswa harus menuliskan minimal 100 mimpi atau harapan-harapan yang ingin dicapainya. Setiap mimpi yang telah dicapai harus dicoret di dalam buku tersebut. Alhamdulillah aku bisa dan mampu menuliskan 100 mimpi terbaikku yang salah satu harapan atau impian itu adalah bisa berkunjung dan belajar di luar negeri.
Allah mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya, impian itu seakan-akan Allah bimbing dan diarahkan serta diberi jalan dengan adanya program daurah Mesir. Namun, banyak yang harus aku pertimbangkan, terutama mengenai izin dari kedua orang tua. Tak hanya itu, aku adalah seorang mahasiswa program bidikmisi yang mayoritas pendidikan di UPI saja dibiayai oleh pemerintah, maka untuk pergi ke Mesir dirasa amat jauh dari harapan.
Grup WhatsApp keluarga adalah solusi bagiku untuk menyampaikan keinginan ini, mengingat bahwa aku tinggal di Bandung, sedangkan keluargaku di Kabupaten Bogor, dengan harapan mendapat dukungan dari tujuh kakakku dan kedua orang tuaku. Respons kakakku amat baik dan mendukung, namun kedua orang tuaku seperti tidak mengizinkan. Agar lebih jelas maka aku hubungi mereka melalui telepon, dan memang alasan mereka beraneka macam. Umi tidak memberikan izin dikarenakan kekhawatiran kepada anaknya yang terlalu berlebihan, Umi takut diriku dimanfaatkan oleh orang-orang Mesir dan menjadi pekerja di sana, sehingga tidak bisa dipulangkan kembali ke Indonesia. Bapak memberikan nasihat dan masukan bahwa jika di Mesir dalam kurun waktu hanya 2 bulan saja, maka aku tidak akan bisa apa-apa, belajar bahasa arab cukup dengan guru-guru di kampung halaman saja dan tidak perlu pergi jauh-jauh ke Mesir serta ilmu lainnya pun banyak di Indonesia. Maka aku mewajarkan hal tersebut karena memang aku belum menjelaskannya secara rinci terkait program daurah Mesir ini kepada mereka. Kecewa? Iya sangat amat kecewa.
Program daurah Mesir adalah program kerja sama pendidikan antara Prodi IPAI-UPI dengan Ma’had Mu’allimil Qur’an Mesir yang memiliki ketentuan bahwa setiap mahasiswa yang ingin mengikuti program ini harus mendapatkan izin kedua orang tua, biaya yang harus disiapkan minimal lima belas juta rupiah, dan biaya itu hanya digunakan untuk transportasi pergi dan pulang Indonesia-Mesir serta biaya untuk kunjungan wisata di Mesir, sedangkan terkait biaya asrama, makan, minum serta biaya pendidikan selama dua bulan sudah digratiskan oleh pihak lembaga Mesir. Tak ada sistem seleksi peserta, karena memang peminat program ini masih sedikit, bisa jadi karena faktor biaya yang dinilai cukup besar. Dan hal ini juga yang membuatku berpikir bahwa alasan kedua orang tuaku tidak memberi izin adalah karena faktor biaya.
Nyata adanya bahwa uang lima belas juta bukanlah uang yang sedikit, begitu pengakuan dan kerisauan kedua orang tuaku.  Seorang ayah yang bekerja sebagai buruh kuli bangunan dan umiku seorang Ibu Rumah Tangga (IRT) itu seperti tidak menyanggupinya. Memang aku juga sempat memikirkan hal tersebut. Namun, aku memiliki keyakinan lebih, bahwa uang lima belas juta bisa didapatkan dengan banyak cara.
Bulan Mei 2019, sebanyak dua puluh orang mahasiswa telah terdaftar sebagai peserta daurah Mesir. Kuota yang diminta oleh Prodi sudah terisi penuh. Tentunya diriku bukanlah salah satunya, karena aku belum mendapatkan izin dari kedua orang tuaku.
Kala itu di rumah tepat di ruang keluarga, kakakku Asiah dan Asih sedang berdiskusi mengenai program daurah ini, aku pun ikut berkumpul bersama mereka. Rasanya aku seperti sedang di sidang oleh satu keluarga. Haru, sedih dan rasa kesal bercampur menjadi satu. Berbagai nasihat-nasihat telah aku dengar kurang lebih selama dua jam, keringat bercucuran bersamaan dengan air mata. Hahaha.. cengeng, itulah kata yang pantas untuk diriku saat itu. Alasan keluargaku yang jika disimpulkan pada akhirnya adalah masalah biaya, sebagaimana yang telah aku duga sebelumnya. Namun, setelah penyidangan di keluarga, kakakku tetap mendukung aku untuk tetap mengikut program ke Mesir itu, bahkan sebenarnya ibuku juga mendukung, sampai-sampai ibuku berkata: “tak usah dipikirkan, daftar saja jika masih bisa, ikuti prosesnya, biarkan bapak tidak tahu-menahu soal kepergianmu”. Izin dan restu dari kedua orang tuaku adalah kebahagiaan untukku. Jika bapakku tetap tidak mengizinkan, maka aku tidak akan mau ikut program ini. Lagi pula kuota dua puluh orang sudah terpenuhi, maka aku terus menghibur diri sendiri dan tetap husnudzan kepada Allah, bahwa Allah telah menggantikan mimpiku dengan yang lebih baik lagi. Sabar, hayati, nikmati dan hadapi, itulah kata-kata yang bisa menghibur hatiku saat itu.
Dalam kesendirian aku pernah membaca dua buah buku yang didalamnya berisi motivasi yang menginformasikan bahwa pada saat kita berdoa dengan sebenar-benarnya berdoa, maka Allah akan mengabulkan doa kita. Tidak ada doa yang Allah tolak, hanya saja ada tiga kemungkinan tatkala kita berdoa. (1) Allah akan mengabulkannya langsung, karena Allah tahu pada saat itu kita mampu dan tetap berada dalam ketaatan kepada Allah. (2) Allah akan menangguhkan doa kita, karena Allah tahu, jika doa kita langsung dikabulkan, maka kita akan lupa kepada Allah. (3) Allah akan menggantikannya dengan hal lain yang lebih baik. Oleh karena itu, tidak ada doa yang tidak dikabulkan oleh Allah selagi kita memang benar-benar berdoa kepada-Nya. Habib Novel Alaydrus, kala itu aku mengikuti kajiannya langsung di Majelis Ar-Raudah Solo.  Beliau pun menjelaskan bahwa tatkala kita yakin bahwa kita punya Allah Yang Maha Segala-Galanya, maka jangan pernah khawatirkan hidup kita. Beliau juga sering meminta doa kepada para jemaahnya yang hadir, berharap Amin dari jemaah, karena bisa jadi di antara yang hadir ada orang saleh yang doanya akan cepat dikabulkan oleh Allah. Dan hal itu telah aku lakukan tatkala presentasi di depan kelas ketika mata kuliah Tafsir. Dengan pemahaman-pemahaman itu keyakinanku semakin bertambah, tidak ada yang mustahil di dunia ini, yang penting adalah keyakinan kita kepada Allah terus terjaga dan terus bertambah.
Juni 2019, kabar Ahmad teman sekelasku yang mengikuti program daurah Mesir ini mengundurkan diri karena beberapa sebab. Peluang untuk mengikuti kembali program ini hadir di benakku. Secara diam-diam aku pun mengikuti alur pendaftarannya menggantikan Ahmad yang pada akhirnya pembuatan proposal pengajuan dana ke berbagai pihak menuaikan hasil yang positif, dana kurang lebih 4,5 juta siap ditanggung oleh Kampus UPI tercinta. Maka ini pula yang menjadi pintu keyakinan kedua orang tuaku untuk bisa memberikan izin dan restunya. Dalam kurun waktu kurang lebih satu bulan, aku mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan terkait program daurah Mesir ini. Pembuatan paspor dan visa, perizinan ke beberapa pihak, pembuatan surat kesehatan dan berbagai rencana yang akan dilaksanakan di Mesir telah disusun dan disiapkan dengan sedemikian rupa. Seiringan dengan hal tersebut, izin dari kedua orang tuaku pun akhirnya mulai terbuka. “Silakan lanjutkan proses dan alur pendaftaran yang lainnya, Insyaallah bapak sudah mengizinkan kamu untuk mengikut program daurah Mesir ini, dan sudah menyiapkan sedikit biayanya, bisa di cicil, kan? Nanti bayarkan setengahnya terlebih dahulu ya, setengahnya  lagi setelah Idulfitri selesai, mudah-mudahan ada rezekinya”. Begitu kata Ibuku disaat mengobrol denganku melalui telepon. Syukur alhamdulillah Allah menghibur diriku dan membuatkan alur cerita yang amat menarik untukku. Hampir saja diri ini berputus asa dan hilang harapan. Namun, keoptimisan membawaku kepada kebahagiaan yang seutuhnya hingga aku semakin yakin bahwa tidak ada doa yang tertolak.
16 Juli 2019, Bogor, rumahku kala itu penuh dengan nasihat-nasihat. Kakak, kerabat, dan sahabat memberikan salam kepadaku yang hendak pergi dua bulan lamanya di negeri para Nabi. Sambil berkemas diriku dihiasi syukur dan haru. Kekhawatiran orang-orang terdekatku amat nampak saat itu, hingga sore hari keluargaku menyewa mobil tetangga untuk mengantarkanku ke Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta. Dalam perjalanan suasana mobil hening sepi, hanya terdengar bisikan-bisikan Ibuku, yang lagi-lagi isinya adalah nasihat dan pesan-pesan kepada diriku agar bisa menjaga diri, menjaga kesehatan dan tetap mengabari keluarga setiap harinya. Aku hanya bisa mengangguk dan berkata: “iya”. Sesampainya di Bandara, kagum kaget dan terus bersyukur karena ini awal pertama kali aku masuk ke Bandara, begitupun kedua orangtuaku. Maklum, orang kampung yang baru main ke kota, begitulah jadinya. Hehehe. Tak lama dari itu, Gilang Abdi Zikri, teman sekelasku di UPI telah menungguku di pintu masuk Bandara dan menginformasikan bahwa teman-teman dan para dosen telah menunggu dan mencariku. Tak lama dari itu, aku langsung pamit kepada keluarga, foto bersama dan mencium tangan kedua orang tuaku menjadi kisah awal bagiku menuju Negeri Piramida itu.
Alangkah indahnya skenario Allah ini, mimpi yang aku tuliskan untuk bisa belajar di luar negeri bisa aku coret sebagai tanda bahwa mimpi itu telah berhasil aku raih. Semoga mimpi yang lainnya bisa aku capai, karena itu semua hanya berbicara tentang waktu yang tepat, waktu yang terbaik, waktu yang pas dan memang semuanya itu akan indah jika tepat pada waktunya. Itulah rencana Allah, yang lebih romantis daripada rencananya manusia. Namun, manusia tetap harus berencana dan berusaha, dan jangan lupa berdoa serta bertawakal kepada Tuhan Yang Maha Segala-Galanya, Allah Swt.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar