(Mimpi
yang dicoret)
(Eman
Sulaeman)
Bandung,
dini hari, hujan turun setelah aku melaksanakan salat subuh berjemaah di masjid
Pondok Pesantren Al Falah Dago, kembali aku melakukan aktivitas seperti biasanya,
mandi, sarapan, dan bersiap bergegas menuju kampus tercinta Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Alhamdulillah hujan reda pada waktu yang
tepat. Betul sekali, aku adalah seorang mahasiswa semester empat di UPI
Bandung, mengambil kejuruan Ilmu Pendidikan Agama Islam (IPAI) yang harapannya
adalah aku bisa menjadi seorang pendidik dan pengajar atau lebih kita kenal
dengan istilah guru. Menjadi seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sebuah
sekolah bukanlah keinginanku, apalagi keinginan orang tuaku, mengingat bahwa upah
atau gaji menjadi seorang guru di Indonesia masih amat kecil dan dirasa tidak
mencukupi kebutuhan hidup, begitulah pola pikir kedua orang tuaku. Hal lainnya
adalah karena aku seorang siswa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang memiliki
keahlian di Bidang Elektronika Industri. Memang banyak sekali orang lain yang
menyebutkan bahwa diriku telah tersesat memilih kejuruan di universitas. Namun,
aku tambahkan saja bahwa aku telah tersesat di jalan yang benar. Insyaallah.
Pukul
07.00 WIB tepat aku masuk di ruang 40 gedung Fakultas Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial (FPIPS), AC menyala 16°C saat itu. Diawali dengan tilawah Al-Qur’an
bersama, aku dan teman-teman sekelas memulai pembelajaran pertama dengan mata
kuliah tafsir tentang ayat-ayat pendidikan. Sistem pembelajaran kami adalah
pembagian kelompok, dan setiap kelompok harus tampil mempresentasikan materi
yang telah ditentukan sebelumnya oleh dosen, KH. Dr. Aam Abdussalam, M.Pd, dan
Dr. Cucu Surahmanm M.A.. Pada hari itu adalah bagian kelompokku yang tampil
mempresentasikan materi. Satu hal yang menarik ketika memasuki sesi tanya jawab
yaitu ada sebuah pertanyaan tentang persepsi ustaz dan kiai, kemudian aku jawab
bahwa seseorang itu tidak pernah menyebutkan dirinya dengan gelar ustaz atau kiai,
masyarakatlah yang memberinya gelar tersebut. Kita bisa lihat dan pelajari dari
Negeri Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Madinah atau Mesir, walaupun saya
belum pernah berkunjung ke sana, mohon doa dari teman-teman semua, insyaallah semester
yang akan datang saya bisa mengikuti program daurah ke Mesir. ‘Serentak teman sekelas berkata amin’
Bahwa untuk mendapatkan gelar ustaz atau kiai di sana harus belajar
bertahun-tahun terlebih dahulu, harus hafal Al-Qur’an 30 Juz dan ribuan hadis
terlebih dahulu. Beda halnya dengan Indonesia, ada remaja yang baru masuk dan
belajar di pondok pesantren selama setahun saja, ketika pulang ke kampung
halamannya sudah banyak orang-orang yang memanggilnya ustaz, begitu
penjelasanku.
Celetukan
di kelas mengenai program daurah Mesir sempat terpikirkan kembali,
memang saat itu semester 4 adalah waktu yang tepat bagi panitia program daurah
Mesir mencari mahasiswa yang ingin mengikuti programnya. Di Program Studi
(Prodi) IPAI ini sudah terjalin kerja sama dengan salah satu lembaga pendidikan
di Giza Mesir. Dan pada awal tahun 2019 merupakan tahap pencarian peserta
program ini.
Teringat
satu kejadian ketika aku semester 3 di UPI, mata kuliah Basic Life Skill (BLS)
bersama Bapak Toto Suryana dan Bapak Saeful Anwar menjadi pengingat juga bagi
semua mahasiswa perihal keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap manusia
untuk bertahan hidup di era yang terus berkembang, mengukir harapan dan mimpi
setinggi-tingginya serta belajar untuk berpikir di luar nalar biasanya. Salah
satu tugas yang menarik dari mata kuliah ini adalah membuat Dream Book,
iya betul, buku impian. Di dalam buku impian tersebut mahasiswa harus
mencantumkan biodata dirinya, tentang keluarganya, orang-orang yang dekat
dengan dirinya serta mahasiswa harus menuliskan minimal 100 mimpi atau
harapan-harapan yang ingin dicapainya. Setiap mimpi yang telah dicapai harus
dicoret di dalam buku tersebut. Alhamdulillah aku bisa dan mampu menuliskan 100
mimpi terbaikku yang salah satu harapan atau impian itu adalah bisa berkunjung
dan belajar di luar negeri.
Allah
mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya, impian itu
seakan-akan Allah bimbing dan diarahkan serta diberi jalan dengan adanya
program daurah Mesir. Namun, banyak yang harus aku pertimbangkan,
terutama mengenai izin dari kedua orang tua. Tak hanya itu, aku adalah seorang mahasiswa
program bidikmisi yang mayoritas pendidikan di UPI saja dibiayai oleh
pemerintah, maka untuk pergi ke Mesir dirasa amat jauh dari harapan.
Grup
WhatsApp keluarga adalah solusi bagiku untuk menyampaikan keinginan ini,
mengingat bahwa aku tinggal di Bandung, sedangkan keluargaku di Kabupaten
Bogor, dengan harapan mendapat dukungan dari tujuh kakakku dan kedua orang
tuaku. Respons kakakku amat baik dan mendukung, namun kedua orang tuaku seperti
tidak mengizinkan. Agar lebih jelas maka aku hubungi mereka melalui telepon,
dan memang alasan mereka beraneka macam. Umi tidak memberikan izin dikarenakan
kekhawatiran kepada anaknya yang terlalu berlebihan, Umi takut diriku
dimanfaatkan oleh orang-orang Mesir dan menjadi pekerja di sana, sehingga tidak
bisa dipulangkan kembali ke Indonesia. Bapak memberikan nasihat dan masukan bahwa
jika di Mesir dalam kurun waktu hanya 2 bulan saja, maka aku tidak akan bisa
apa-apa, belajar bahasa arab cukup dengan guru-guru di kampung halaman saja dan
tidak perlu pergi jauh-jauh ke Mesir serta ilmu lainnya pun banyak di
Indonesia. Maka aku mewajarkan hal tersebut karena memang aku belum menjelaskannya
secara rinci terkait program daurah Mesir ini kepada mereka. Kecewa? Iya
sangat amat kecewa.
Program
daurah Mesir adalah program kerja sama pendidikan antara Prodi IPAI-UPI
dengan Ma’had Mu’allimil Qur’an Mesir yang memiliki ketentuan bahwa
setiap mahasiswa yang ingin mengikuti program ini harus mendapatkan izin kedua
orang tua, biaya yang harus disiapkan minimal lima belas juta rupiah, dan biaya
itu hanya digunakan untuk transportasi pergi dan pulang Indonesia-Mesir serta
biaya untuk kunjungan wisata di Mesir, sedangkan terkait biaya asrama, makan,
minum serta biaya pendidikan selama dua bulan sudah digratiskan oleh pihak lembaga
Mesir. Tak ada sistem seleksi peserta, karena memang peminat program ini masih
sedikit, bisa jadi karena faktor biaya yang dinilai cukup besar. Dan hal ini
juga yang membuatku berpikir bahwa alasan kedua orang tuaku tidak memberi izin
adalah karena faktor biaya.
Nyata
adanya bahwa uang lima belas juta bukanlah uang yang sedikit, begitu pengakuan
dan kerisauan kedua orang tuaku. Seorang
ayah yang bekerja sebagai buruh kuli bangunan dan umiku seorang Ibu Rumah
Tangga (IRT) itu seperti tidak menyanggupinya. Memang aku juga sempat
memikirkan hal tersebut. Namun, aku memiliki keyakinan lebih, bahwa uang lima
belas juta bisa didapatkan dengan banyak cara.
Bulan
Mei 2019, sebanyak dua puluh orang mahasiswa telah terdaftar sebagai peserta daurah
Mesir. Kuota yang diminta oleh Prodi sudah terisi penuh. Tentunya diriku
bukanlah salah satunya, karena aku belum mendapatkan izin dari kedua orang
tuaku.
Kala
itu di rumah tepat di ruang keluarga, kakakku Asiah dan Asih sedang berdiskusi
mengenai program daurah ini, aku pun ikut berkumpul bersama mereka.
Rasanya aku seperti sedang di sidang oleh satu keluarga. Haru, sedih dan rasa
kesal bercampur menjadi satu. Berbagai nasihat-nasihat telah aku dengar kurang
lebih selama dua jam, keringat bercucuran bersamaan dengan air mata. Hahaha..
cengeng, itulah kata yang pantas untuk diriku saat itu. Alasan keluargaku yang
jika disimpulkan pada akhirnya adalah masalah biaya, sebagaimana yang telah aku
duga sebelumnya. Namun, setelah penyidangan di keluarga, kakakku tetap
mendukung aku untuk tetap mengikut program ke Mesir itu, bahkan sebenarnya
ibuku juga mendukung, sampai-sampai ibuku berkata: “tak usah dipikirkan, daftar
saja jika masih bisa, ikuti prosesnya, biarkan bapak tidak tahu-menahu soal
kepergianmu”. Izin dan restu dari kedua orang tuaku adalah kebahagiaan untukku.
Jika bapakku tetap tidak mengizinkan, maka aku tidak akan mau ikut program ini.
Lagi pula kuota dua puluh orang sudah terpenuhi, maka aku terus menghibur diri
sendiri dan tetap husnudzan kepada Allah, bahwa Allah telah menggantikan
mimpiku dengan yang lebih baik lagi. Sabar, hayati, nikmati dan hadapi, itulah
kata-kata yang bisa menghibur hatiku saat itu.
Dalam
kesendirian aku pernah membaca dua buah buku yang didalamnya berisi motivasi
yang menginformasikan bahwa pada saat kita berdoa dengan sebenar-benarnya berdoa,
maka Allah akan mengabulkan doa kita. Tidak ada doa yang Allah tolak, hanya
saja ada tiga kemungkinan tatkala kita berdoa. (1) Allah akan mengabulkannya
langsung, karena Allah tahu pada saat itu kita mampu dan tetap berada dalam
ketaatan kepada Allah. (2) Allah akan menangguhkan doa kita, karena Allah tahu,
jika doa kita langsung dikabulkan, maka kita akan lupa kepada Allah. (3) Allah
akan menggantikannya dengan hal lain yang lebih baik. Oleh karena itu, tidak
ada doa yang tidak dikabulkan oleh Allah selagi kita memang benar-benar berdoa
kepada-Nya. Habib Novel Alaydrus, kala itu aku mengikuti kajiannya langsung di Majelis
Ar-Raudah Solo. Beliau pun menjelaskan bahwa
tatkala kita yakin bahwa kita punya Allah Yang Maha Segala-Galanya, maka jangan
pernah khawatirkan hidup kita. Beliau juga sering meminta doa kepada para jemaahnya
yang hadir, berharap Amin dari jemaah, karena bisa jadi di antara yang hadir
ada orang saleh yang doanya akan cepat dikabulkan oleh Allah. Dan hal itu telah
aku lakukan tatkala presentasi di depan kelas ketika mata kuliah Tafsir. Dengan
pemahaman-pemahaman itu keyakinanku semakin bertambah, tidak ada yang mustahil
di dunia ini, yang penting adalah keyakinan kita kepada Allah terus terjaga dan
terus bertambah.
Juni
2019, kabar Ahmad teman sekelasku yang mengikuti program daurah Mesir
ini mengundurkan diri karena beberapa sebab. Peluang untuk mengikuti kembali program
ini hadir di benakku. Secara diam-diam aku pun mengikuti alur pendaftarannya
menggantikan Ahmad yang pada akhirnya pembuatan proposal pengajuan dana ke
berbagai pihak menuaikan hasil yang positif, dana kurang lebih 4,5 juta siap
ditanggung oleh Kampus UPI tercinta. Maka ini pula yang menjadi pintu keyakinan
kedua orang tuaku untuk bisa memberikan izin dan restunya. Dalam kurun waktu
kurang lebih satu bulan, aku mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan terkait
program daurah Mesir ini. Pembuatan paspor dan visa, perizinan ke
beberapa pihak, pembuatan surat kesehatan dan berbagai rencana yang akan
dilaksanakan di Mesir telah disusun dan disiapkan dengan sedemikian rupa.
Seiringan dengan hal tersebut, izin dari kedua orang tuaku pun akhirnya mulai
terbuka. “Silakan lanjutkan proses dan alur pendaftaran yang lainnya, Insyaallah
bapak sudah mengizinkan kamu untuk mengikut program daurah Mesir ini,
dan sudah menyiapkan sedikit biayanya, bisa di cicil, kan? Nanti bayarkan
setengahnya terlebih dahulu ya, setengahnya lagi setelah Idulfitri selesai, mudah-mudahan
ada rezekinya”. Begitu kata Ibuku disaat mengobrol denganku melalui telepon.
Syukur alhamdulillah Allah menghibur diriku dan membuatkan alur cerita
yang amat menarik untukku. Hampir saja diri ini berputus asa dan hilang harapan.
Namun, keoptimisan membawaku kepada kebahagiaan yang seutuhnya hingga aku
semakin yakin bahwa tidak ada doa yang tertolak.
16
Juli 2019, Bogor, rumahku kala itu penuh dengan nasihat-nasihat. Kakak,
kerabat, dan sahabat memberikan salam kepadaku yang hendak pergi dua bulan
lamanya di negeri para Nabi. Sambil berkemas diriku dihiasi syukur dan haru.
Kekhawatiran orang-orang terdekatku amat nampak saat itu, hingga sore hari
keluargaku menyewa mobil tetangga untuk mengantarkanku ke Bandara
Soekarno-Hatta di Jakarta. Dalam perjalanan suasana mobil hening sepi, hanya
terdengar bisikan-bisikan Ibuku, yang lagi-lagi isinya adalah nasihat dan
pesan-pesan kepada diriku agar bisa menjaga diri, menjaga kesehatan dan tetap
mengabari keluarga setiap harinya. Aku hanya bisa mengangguk dan berkata: “iya”.
Sesampainya di Bandara, kagum kaget dan terus bersyukur karena ini awal pertama
kali aku masuk ke Bandara, begitupun kedua orangtuaku. Maklum, orang kampung
yang baru main ke kota, begitulah jadinya. Hehehe. Tak lama dari itu, Gilang
Abdi Zikri, teman sekelasku di UPI telah menungguku di pintu masuk Bandara dan
menginformasikan bahwa teman-teman dan para dosen telah menunggu dan mencariku.
Tak lama dari itu, aku langsung pamit kepada keluarga, foto bersama dan mencium
tangan kedua orang tuaku menjadi kisah awal bagiku menuju Negeri Piramida itu.
Alangkah
indahnya skenario Allah ini, mimpi yang aku tuliskan untuk bisa belajar di luar
negeri bisa aku coret sebagai tanda bahwa mimpi itu telah berhasil aku raih.
Semoga mimpi yang lainnya bisa aku capai, karena itu semua hanya berbicara
tentang waktu yang tepat, waktu yang terbaik, waktu yang pas dan memang semuanya
itu akan indah jika tepat pada waktunya. Itulah rencana Allah, yang lebih
romantis daripada rencananya manusia. Namun, manusia tetap harus berencana dan
berusaha, dan jangan lupa berdoa serta bertawakal kepada Tuhan Yang Maha
Segala-Galanya, Allah Swt.